Monday, September 01, 2008

OPEN SPACES OF INDONESIA

RUANG TERBUKA INDONESIA (INDONESIAN OPEN SPACES)



3.1 Ruang Terbuka di Pedesaan
3.1.1. Ruang Terbuka di Pulau Nias, Sumatera Utara
a. Kondisi Umum
Pulau Nias berada di lepas pantai barat Pulau Sumatera. Di pulau ini berkembang budaya kemasyarakatan yang khas, dan terpelihara dengan baik sampai sekarang karena letaknya secara geografis terpisah dengan daratan Sumatera.
Mengenai Pulau Nias dari segi gaya arsitekturnya, pulau ini memiliki kelainan atau ciri tersendiri. Rumah-rumah orang Nias memiliki kekhasan karena bentuk rumahnya yang berdenah persegi panjang tapi sisinya melengkung dan konstruksi rumahnya yang kokoh berbentuk “kapal”. Dikenal pula rumah yang megah, jalan-jalan berlapis batu serta kebudayaan megalitik. Bangunan besar bertiang menjulang dan bukaan atap merupakan ciri tersendiri sebuah tradisi arsitektur khas dari Pulau Nias (Sumintardja, 1978 : 30-31).
Pada umumnya masyarakat Pulau Nias terdiri dari dua wilayah yaitu bagian selatan dan utara. Masyarakat yang berada di bagian selatan Pulau Nias hidup secara berkelompok antara 30 – 40 keluarga dalam satu bangunan tempat kediaman yang besar dan kampungnya seperti benteng dengan pagar-pagar pengaman yang tinggi. Sementara itu masyarakat yang hidup di bagian utara hidup lebih terpencar, satu atau beberapa keluarga, masing-masing di rumah sendiri.




b. Ruang Terbuka
• Bentuk Ruang Terbuka
Desa-desa di Nias Selatan di daerah perbukitan menggunakan nama dari letak desa. Jalan ke desa berbentuk anak tangga besar dari batu, terdiri atas beberapa ratus rumah, tersusun di kedua sisi jalan yang dilapisi batu dengan panjang beberapa ratus kilometer. Rumah yang berdekatan saling dihubungkan, membentuk teras panjang dengan jalan masuk tunggal digunakan oleh rumah tangga yang berdekatan. Pola dasar jalan lurus sepanjang waktu dapat membentuk “L” atau “T” setelah rumah baru ditambahkan ke tempat tinggal ini. Kadang-kadang jalan utama (ewali) dipotong tegak oleh sumbu kedua, membentuk simpang jalan di pusat desa.
• Fungsi Ruang Terbuka
Tugu batu prasejarah terletak didepan pelataran sebagai tempat berkumpul setengah-umum. Disebut “dinding batu” (oli batu), tugu-tugu tersebut menunjukan peringkat pemilik rumah karena sebagai tanda raga dari pengahargaan jasa masa lalu serta peringatan abadi bagi orang yang mengadakan pesta penghargaan. Batu tersebut merupakan contoh tingakatan sosial dalam masyarakat desa pendirian menhir (fa’ulu) oleh ketua atau bangsawan sekaligus pengumuman kedudukannya dalam masyarakat, juga menandai terselesaikannya “pesta penghargaan jasa” yang diselenggarakan sendiri. Pada zaman dulu, tulan orang yang sudah meninggal diletakkan dalam guci dan dikubur dibawah batu keramat. Tinggi batu tersebut berkisar antara 1,5 sampai 2 meter.
Rumah kepala suku (omo sebual) yang memiliki tugu batu terbesar dan paling bagus, merupakan bangunan terbesar di desa dan terletak di tengahnya, diseberang lapangan (gorahua newali). Rumah pertemuan umum (bale) juga terletak di dekatnya (Tjahjono, 2002 : 30-31).


3.1.2. Ruang Terbuka di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat
a. Kondisi Umum
Kepulauan Mentawai terletak di lepas pantai sebelah barat Sumatera Barat. Di sebagian besar Kepulauan Mentawai pengaruh modern membawa perubahan besar dalam kebudayaan tradisisonal, namun rumah panjang masih dapat ditemukan ditemukan di daerah Siberut, pulau terbesar dari gugusan pulau tersebut.
Setiap keluarga mempunyai hunian tersendiri (sapou) dengan perkebunan mereka dan disitu mereka hidup sehari-hari, datang bersama-sama ke uma untuk upacara dan kegiatan pesta.
Rumah panjang Mentawai tidak berpatokan menurut orientasi mata angin, uma dianggap hanya akan makmur di tempat yang disetujui oleh leluhur atau roh setempat (Tjahjono, 2002 : 28).

b. Ruang Terbuka
• Bentuk Ruang Terbuka
Bentuk ruang terbuka pada permukiman di Kepulauan Mentawai, khususnya di Kampung Sibaibai, Pulau Pagai Utara, Sumatera Barat, berbentuk persgi yang memanjang ke arah utara yang nantinya akan berkembang sejalan dengan pertambahan jumlah kepala keluarga pada permukiman tersebut.
• Fungsi Ruang Terbuka
Ruang terbuka di permukiman ini lebih berfungsi sebagai tempat berinteraksi antar penduduk dan tidak dipengaruhi oleh arah mata angin dan sistem kepercayaan yang ada karena kepercayaan di daerah ini lebih beroroentasi pada sungai yang berada di sebelah timur dari permukiman tersebut (Jayadinata, 1999 : 102).
• Makna Ruang Terbuka
Salah satu contoh perkampungan tradisional adalah kampung Sibaibai, di Pulau Pagai Utara, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Karena pengaruh kepercayaan penduduk Mentawai, semua rumah di Sibaibai menghadap ke sungai, sebab sungai mempunyai peranan penting dalam upacara yang bersifat keagamaan (misalnya bayi yang baru lahir harus dibawa ke sungai untuk di mandikan dalam upacara keagamaan). Namun makna ruang terbuka tidak dipengaruhi oleh religius setempat melainkan terbentuk karena adanya kebutuhan hubungan sosial kemasyarakatan (kekerabatan) masyarakat setempat.

3.1.3. Ruang Terbuka di Kampung Naga, Tasikmalaya, Jawa Barat
a. Kondisi Umum
Kampung Naga terletak di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, tepatnya jalur jalan raya antara Garut dan Tasikmalaya. Luas lahan Kampung Naga hanya 1,5 hektar dan didalamnya terdapat 110 bangunan yang ditempati oleh 104 kepala keluarga. Tidak ada jalan untuk kendaraan karena letaknya yang terpencil di dalam lembah dan dikelilingi oleh Sungai Ciwulan. Rumah-rumah di kawasan ini berdiri mengikuti pola aliran sungai dan berada di sepanjang salah satu sisi sungai. Rumah Naga mempunyai denah persegi panjang dengan luas yang tidak terlalu besar yaitu antara 30 – 60 m2. pintu masuk rumah harus diletakkan menghadap utara-selatan, searah sisi pendek bangunan. dengan demikian tampak muka bangunan adalah sisi panjang bangunan (Tabloid Rumah, Rumah Berpori-pori Masyarakat Naga : Oktober 2003).

Jarak antar rumah yang berdampingan cukup rapat, menciptakan lorong selebar 2-3 meter. Dilihat dari bubungan atap pada setiap bangunan, semuanya memanjang kearah timur-barat, dengan pintu rumah di bagian panjang bangunan, yaitu sisi utara-selatan. Secara tidak langsung, orientasi rumah kearah timur, sebagai salah satu usaha menghindari sinar matahari langsung.
Fasade bangunan rumah penduduk menghadap kearah Sungai Ciwulan dimana diantara beberapa bangunan rumah terdapat ruang terbuka yang tepat terletak didepan masjid yang juga menghadap kearah Sungai Ciwulan.
Sebuah rumah biasanya terletak dalam suatu areal atau suatu bidang tanah yang biasanya disebut halaman rumah, dalam bahasa sunda disebut buruan. Halaman rumah ini juga terbagi menjadi bagian-bagian, yaitu halaman rumah bagian muka dan bagian belakang (buruan hareup, buruan tukang). Halaman muka bisanya menjadi tempat aktifitas kaum pria. Kadang juga halaman muka digunakan sebagai tempat menjemur pakaian dan menjemur padi. Sebaliknya halaman bagian belakang menjadi tempat aktifitas wanita. Di halaman belakang terdapat kolam dan sumur atau pancoran. Peranan kolan dan pancuran penting sekali, karena keduanya berhubungan dengan air yang berkaitan erat dengan kepercayaan terhadap dewi padi (Suhamihardja, 1991: 47-50).
Demikianlah secara kosmologis fungsi dan peranan rumah rumah dapat diakatgosiasikan kedalam daerah laki-laki dan daerah wanita dengan fungsi dan peranannya masing-masing.

b. Ruang Terbuka
• Bentuk Ruang Terbuka
Ruang terbuka (alun-alun / tanah lapang) pada Kampung Naga berbentuk persegi yang terletak tepat didepan mesjid.
• Fungsi Ruang Terbuka
Ruang terbuka di Kampung Naga memiliki beberapa fungsi diantaranya (Suhamihardja, 1991 : 52-53) :
1 Fungsi sosial ekonomi, seperti untuk menjemur padi, menjemur pakaian dan lain sebagainya.
2 Fungsi spiritual, yaitu sebagai tempat pelaksanaan upacara-upacara atau selamatan-selamatan keluarga dan warga sekampung bahkan warga adat se-Naga, seperti upacara Hajat Sasih, upacara Menyepi, upacara Panen Padi, perkawinan dan lain-lain.
3 Fungsi budaya, yaitu sebagai tempat pertunjukkan kesenian terbangan, angklung dan beluk.
• Makna Ruang Terbuka
Makna ruang terbuka di Kampung Naga ini sangat erat kaitannya dengan kepercayaan masyarakat setempat. Letak ruang terbuka yaitu berada di utara dari masjid. Menurut kepercayaan yang ada dikatakan bahwa bukaan-bukaan yang ada baik itu rumah (pintu masuk) maupun ruang terbuka atau pekarangan sebaiknya tidak menghadap ke arah timur dan barat karena manusia tidak boleh menentang kodrat alam, sebagaimana juga perjalanan matahari yang terbit sebelah timur dan terbenam di sebelah barat, tidak bisa diubah. Apabila manusia berani menentang kehendak atau kodrat itu, maka akan timbul malapetaka yang dapat menghancurkan kehidupan manusia itu sendiri. Bagi orang Kampung Naga ketentuan letak dan arah rumah demikian itu merupakan ketentuan adat yang diwariskan nenek moyang mereka (Suhamihardja, 1991 : 52-53).

3.1.4. Ruang Terbuka di Kota Yogyakarta (Alun-alun)
a. Kondisi Umum
Walaupun perencanaan keraton sejak awal sudah menyeluruh tetapi pada awalnya masih sederhana dan baru bangunan inti yang mendapat perhatian khusus. Makin lama bangunan semakin kompleks, makin megah, indah, dan memenuhi kebutuhan praktis disamping juga memenuhi kebutuhan adat, simbolik, moral, religius, kesenian dan lin-lain, sehingga merupakan gambaran totalitas kebesaran peradaban Jawa klasik (Depdikbud, 1991: 151).
Alun-alun adalah pelengkap dari pemandangan arsitektur suatu keraton atau dalam versinya yang lebih sederhana juga dari suatu kabupaten, kawedanan atau kecamatan. Alun-alun merupakan unsur yang penting dari suatu lingkungan arsitektur dan sebagai pusat kehidupan kota pada masa-masa lalu. Pertandingan, rapat, upacara, pasar diselenggarakan disana (Sumintadja, 1978 : 16).
Pada pusat Kota Yogyakarta terdapat dua alun-alun yaitu utara dan selatan. Alun-alun utara merupakan tempat resmi yang berhubungan dengan raja. Sementara alun-alun selatan untuk putra mahkota sebagai persiapan untuk melakukan upacara kenegaraan. Situasi alun-alun biasanya dapat diawasi dari panggung Sanggabhuana dengan tinggi lebih dari 12 meter dimana sang raja dapat mengamati lebih seksama situasi di alun-alun maupun pasar.

b. Ruang Terbuka (Alun-alun)
Hingga saat ini yang disebut alun-alun di Jawa masih dianggap lapangan formal yang erat kaitannya dengan upacara kenegaraan. Zoetmulder (1935) menyebut adannya Mancapat yang sering dianut oleh orang Jawa sebagai pusat orientasi spasial. Arah empat ini dipegang oleh orang Jawa dalam hubungannya dengan empat unsur pembentuk keberadaan bhuana : air, bumi, udara dan api yang kemudian diturunkan sebagai dasar kategorisasi untuk hal-hal lain seperti tata ruang pada kawasan alun-alun.
Sampai saat ini masih belum diketahui pasti asal-usul alun-alun ini. Jawa dikenal sebagai suatu budaya yang mengembangkan pemikiran tempat bermukim lebih pada memberi atau mengenali sifat-sifatnya. Kata alun-alun (halun-halun) mungkin diasosiasikan dengan suatu tempat yang memiliki sifat telaga dengan riak yang tenang. Sifat ini diperlukan oleh konsep kekuasaan Jawa sebagai integrator segala keragaman : peran, aspirasi dan tradisi. Dengan kemampuan integrasi dan toleransi yang tinggi, kemungkinan besar konsep alun-alun ini mempresentasikan orang Jawa (Wiryomartono, 1995 : 46-48).
• Bentuk Ruang Terbuka
Di Yogyakarta dapat ditemukan bentuk denah alun-alun yang jajaran genjang.
Alun-alun Utara (Lor), alun-alun ini berupa tanah lapang yang luas yang berbentuk empat persegi dikelilingi jalan juga bagian tengah dipotong oleh jalan yang menghubungkan Jalan Raya Malioboro dengan bangunan keraton. Ditengah ada 2 (dua) pohon beringin yang dikurung dengan pagar sehingga disebut waringin kurung sakembarang masing-masing bernama Kyai Dewandaru dan Kyai Jaradaru. Keduanya mengandung arti simbolis-filosofis tertentu. Disekelilingi alun-alun juga ditanam 62 (enam puluh dua) batang pohon beringin. Disebelah barat alun-alun terdapat Masjid Agung dengan gaya bangunan Jawa (Depdikbud, 1991: 151).
Alun-alun Selatan, alun-alun ini berbentuk persegi yang hampir menyerupai bentuk dari Alun-alun Utara.
• Fungsi Ruang Terbuka
Selain itu Hinduisme dan Buddhisme memberikan kontribusi perkembangan alun-alun itu, sebab upacara-upacara kenegaraan Hindu pada khususnya membutuhkan ruang terbuka untuk prosesi-prosesi ritual. Jika alun-alun itu memiliki dasar keberadaan sebagai tempat ritual dan kegiatan sosial kenegaraan, maka alun-alun akan dianggap sebagai bagian dari pusat kekuasaan bersama keraton dan candi utama. Sedangkan pasar tidak akan berada disekitar alun-alun sebab berhubungan dengan kehidupan sekuler dan sehari-hari (Wiryomartono, 1995 : 46-48). Fungsi alun-alun ini dahulu antara lain untuk latihan perang-perangan serta untuk berbagai upacara perayaan tradisional. Sekarang secara periodik masih digunakan untuk arena arena pasar malam, khususnya pada Bulan Maulud (Depdikbud, 1991: 151).
• Makna Ruang Terbuka
Dalam gambar disamping dapat dijelaskan bahwa keraton sebagai pusat yang secara simbolis menyatu dengan lingkungannya dan menghubungkan secara vertikal mikrokosmos dengan makrokosmos melalui lima bagian berdasarkan sistem dualistik.
Didalam sumbu imajiner ini keraton didampingi oleh dua alun-alun dan lebih jauh lagi diutara oleh sebuah menara (tugu) dan di selatan dengan sebuah panggung krapyak. Dibuat dua buah alun-alun sebagai perlambang dari keyakinan bahwa diutara sebagai tempat duduk raja dewa (Kiai Sapu Jagat) atau Gunung Merapi. Sedangkan di sebelah selatan merupakan tempat kediaman ratu atau dewi (Nyai Roro Kidul) atau Laut Selatan.


3.1.5. Ruang Terbuka di Dayak Kenyah, Kalimantan Timur
a. Kondisi Umum
Suku bangsa Kenyah merupakan salah satu suku bangsa yang tinggal di pedalaman Pulau Kalimantan. Suku bangsa ini sering digolongkan sebagai penduduk pedalaman dengan sebutan Dayak. Suku bangsa Kenyah disini berasal dari Kecamatan Long Nawang, Kabupaten Bulungan, Propinsi Kalimantan Timur yaitu sekitar Apo Kayan atau di bagian hulu Sungai Mahakam dan Sungai Kayan yang aliran sungainya melintasi wilayah kabupaten yang berbeda dan bermuara ke Laut Sulawesi (Sedyawati, 1995 : 18).
Suku Kenyah menyebut rumah panjangnya (umag dadoq) yang memiliki panjang 250 meter dan terdiri dari 30 lebih bilik keluarga (amin) tersendiri. Setiap bilik dihubungkan dengan beranda umum (useh) disepanjang bangunan untuk berbagai kegiatan seperti beekrja, berekreasi, menerima tamu dan pelaksanaan upacara-upacara penting
Masyarakat Kenyah secara tradisional dibagi kedalam tiga kelas yaitu kaum bangsawan, rakyat jelata dan budak. Tingkatan ini akan mnentukan keluarga yang akan menempati bilik yang ada. (Tjahjono, 2002 : 30-31).
Arah sejajar badan sungai (seperti hulu dan hilir) sering menjadi patokan meletakkan sumbu rumah panjang. Arah mata angin yang paling berarti bagi orang Kenyah adalah timur dan barat karena berkaitan dengan gejala alam yang berlintas abadi. Utara dan selatan tidak terdapat di dalam kosa kata Kenyah. Dalam menentukan letak bangunan, arah hilir dan hulu lebih berarti karena ketergantungan mereka pada air dan aliran sungai. Selain itu rumah juga dibangun menurut arah jalan kampung (janan bio).

b. Ruang Terbuka
Alam raya yang disebut usun tana jika dibuka sebagai tempat bermukim, alam yang digarap itu diidentifikasi dengan kata lasan. Pada dasarnya lasan adalah lahan yang terbuka untuk berbagai kegiatan yang berkaitan dengan bermukim. Lahan yang dibuka untuk ladang tidak disebut lasan tetapi sebagai tana uma (tanah ladang). Lasan diberikan hanya dalam konteks lahan yang bisa dibangun dan rasa kepemilikan itu tumbuh oleh baik individu maupun masyarakat.
• Bentuk Ruang Terbuka
Ruang terbuka pada permukiman Suku Dayak Kenyah berbentuk persegi panjang yang mengikuti jalan (janan bio) sebagai orientasi bangunan rumah penduduk. Arah ruang terbuka dari utara ke selatan.
• Fungsi Ruang Terbuka
Ruang terbuka di Suku Dayak Kenyah berfungsi untuk prasarana sirkulasi kegiatan penduduk setempat baik untuk menuju ke daerah lain maupun ke tempat kerja seperti ladang, hutan maupun kebun. Selain itu juga berfungsi sebagai tempat untuk bermain anak-anak, berkumpul dan berinteraksi antar penduduk (Sedyawati, 1995 : 101).
• Makna Ruang Terbuka
Ruang terbuka dianggap sebagai ruang yang tidak begitu penting karena rumah atau lamin lebih diutamakan untuk kegiatan-kegiatan sehari-hari. Oleh karena itu ruang terbuka yang ada diletakkan pada arah utara-selatan sebagai arah yang tidak berarti dan berlawanan dengan arah perletakkan rumah (lamin) yaitu timur-barat dimana arah tersebut berkaitan dengan gejala alam yang berlintas abadi. Utara dan selatan tidak terdapat di dalam kosa kata Kenyah. Dalam menentukan letak bangunan, arah hilir dan hulu lebih berarti karena ketergantungan mereka pada air dan aliran sungai. Selain itu rumah juga dibangun menurut arah jalan kampung (janan bio).
Sementara itu sungai (alo) merupakan unsur penting dalam mengembangkan teritorialitas permukiman suku bangsa Kenyah. Secara tradisional, hulu dan hilir sungai menjadi patokan dalam menentukan hubungan ruang dalam maupun luar. Sungai menurut pemukim merupakan daerah depannya sebagai jalur sirkulasi penduduk sebagi pengganti jalan (Sedyawati, 1995 : 103).


3.1.6. Ruang Terbuka di Sumba, Nusa Tenggara Timur
a. Kondisi Umum
Sumba termasuk kedalam gugusan Kepulauan Nusa Tenggara yang termasuk kedalam wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Sumba merupakan pulau yang kering, berbukit dan berpenduduk jarang. Bergerak dari timur berupa dataran pantai dan dataarn tinggi nisbi yang tidak berpohon hingga ke barat berupa lahan yang lebih subur, terairi dan memiliki lebih banyak keanekaragaman budaya.
Desa tradisional secara khas terletak didaerah tinggi, dengan rumah (uma) berbentuk dua atau lebih deretan di salah satu sisi lapangan tengah yang berisi makam megalitik dan benda upacara. Luas rumah hunian mulai dari 25 sampai dengan 200 m2 yang dapat menampung satu sampai lima atau lebih keluarga inti (Tjahjono, 2002 : 42-43).

b. Ruang Terbuka
Permukiman orang Sumba diatur dengan dasar perbedaan yang secara perlambang penting kanan dan kiri, depan dan belakang, atas dan bawah. Ruang terbuka biasanya disebut dengan ruang bersama (natas).
• Kampung Todo

• Bentuk Ruang Terbuka
Pada umumnya bentuk ruang terbuka pada permukiman tradisonal di Sumba berbentuk oval yang dikelilingi rumah penduduk seperti rumah tandoel, rumah gendang. Bentuk seperti ini dapat dilihat pada perkampungan di Kampung Tradisional Ruteng Pu’e, Kampung Todo dan Kampung Wae Rebo.
• Fungsi Ruang Terbuka
Fungsi dari ruang terbuka dari permukiman tradisional Sumba pada umumnya antara lain :
o Sebagai tempat pelaksanaan upacara keagaman (penguburan jenasah, upacara pengangkatan kepala suku dan lian-lain).
o Sebagai tempat berkumpul (pertemuan) masyarakat dengan adanya bangunan yang terletak ditengah natas yang disebut compang.


3.1.7. Ruang Terbuka di Kampung Orang Dani, Papua
a. Kondisi Umum
Dari segi etnografi dan antropologi, suku-suku di Irian Jaya merupakan kelompok tersendiri. Baik dari raut muka maupun dari latar belakang kebudayaan. Dari beratus-ratus di sana, belum semuanya menjangkau taraf kebudayaan yang kita kenal sebagai yang umum di Indonesia. Meskipun demikian, beberapa suku telah diketahui pula kehidupan masyarakat dan sebuhungan dengan itu bentuk-bentuk perumahannya.
Meskipun demikian mengingat banyaknya suku-suku dan luasnya daerah Irian Jaya, didalam kesederhanaan konstruksi itu, tumbuh karya-karya yang luar biasa dengan berbagai variasinya, baik dalam penciptaan bentuk bangunan, ornamen maupun dalam ekspresi seni lainnya (tari, musik dan lain sebagainya).
Banyak dari suku-suku yang ada di Irian Jaya meneruskan pola kemasyarakatan yang patuh memisahkan antara rumah-rumah yang untuk dihuni khusus pria, wanita, khusus orang yang telah lanjut usia dan sebagainya (Sumintardja, 1978 : 78-79).

b. Ruang Terbuka
Rumah-rumah pada permukiman di Irian Jaya pada umumnya terkumpul dalam satu lingkungan yang berpagar sekelilingnya sehingga merupakan suatu lingkungan yang terlindungi dan aman.
Sebagai contoh di dalam tinjauan ini dikemukakan pola ruang terbuka Suku Dani. Orang Dani tersebar di sepanjang lembah Baliem Besar dataran tinggi Jayawijaya, Irian Jaya yang tidak rata. Mereka terbagi kedalam 30 marga, masing-masing dengan wilayah yang dikenal. Suku Dani tidak membangun desa, namun tinggal dalam kelompok (kampung) yang terdiri dari tiga sampai enam keluarga yang berhubungan secara patrilineal.
• Bentuk Ruang Terbuka
Tidak ada bentuk baku dari sebuah sili, biasanya berdenah persegi yang berukuran antara 100 hingga 1000 meter persegi dan kadang-kadang sejumlah kampung dikelompokkan bersama dalam suatu kelompok dengan dihubungkan jalan lintasan dan pagar bersama (Tjahjono, 2002 : 46).
• Fungsi Ruang Terbuka
Halaman tengah kampung berfungsi sebagai tempat berkumpul bagi anggota sili pada peristiwa tertentu seperti pemakaman, pernikahan dan peristiwa lainnya. Permukiman Dani terdiri atas sili yang dilindungi pagar kayu yang tingginya kira-kira 8-12 meter, diatasnya ditutup dengan rumput kering (Tjahjono, 2002 : 47).
• Makna Ruang Terbuka
Pada ruang terbuka tersebut hanya ada satu yang terbuka dalam pagar ini dengan bagian yang lebih rendah dihalangai untuk mencegah babi dan anjing meninggalkan kampung. Arah pagar mengikuti prinsip kosmologis seperti “menghadap matahari terbit”, “menghindari bayangan gunung” dan “mengelakkan diri dari wilayah musuh (Tjahjono, 2002 : 47).

Akibat dari penerimaan ajaran agama dan perkembangan kemasyarakatan di tahun-tahun muktahir ini, telah banyak merubah pola asal dari tata cara bermukim berbagai suku di Irian Jaya (Sumintardja, 1978 : 79).


3.1.8. Ruang Terbuka di Tana Toraja, Sulawesi Selatan
a. Kondisi Umum
Permukiman tradisional di Sulawesi Selatan, banyak variasi bentuknya sesuai dengan ciri-ciri yang sangat bersifat lokal, seperti yang khas Bugis, Goa, Bone, Makasar dan lain sebagainya.
Selain itu dari segi bentuk rumah, konstruksi bangunan maupun bahan bangunan juga berbeda. Orientasi rumah dari perkampungan Toraja sangat tergantung dari lingkungan alamnya. Pengaturan tata ruang Kampung Toraja di daerah perbukitan berbeda dengan yang berada di tanah datar (Tjahjono, 2002 : 22).

b. Ruang Terbuka
Seperti kebanyakan arsitektur vernakular Indonesia, tata letak rumah Toraja dipenuhi dengan makna perlambang. Orientasi rumah Toraja mempunyai makna alam semesta, rancangan dan susunan ragam hias ukiran di serambi menunjukan berbagai pesan susunan sosial dan hubungannya dengan dunia roh (Sumintardja, 1978 : 70).
• Bentuk Ruang Terbuka
Ruang terbuka pada permukiman Tana Toraja berbentuk persegi panjang yang mengarah ke barat-timur.
• Fungsi Ruang Terbuka
Fungsi dari ruang terbuka antara lain untuk upacara pengangkatan raja, upacara pemakaman dan lain-lain (Sumintardja, 1978 : 70).
• Makna Ruang Terbuka
Rumah harus menghadap ke utara yang merupakan arah yang dihubungkan dengan pencipta “diatas”, Puang Matua. Ujung selatan, sebaliknya, adalah “belakang” rumah (pollo’banua), dihubungkan dengan nenek moyang dan dunia kemudian, Puya. Barat dan timur menunjukkan tangan kiri dan kanan tubuh. Timur dihubungkan dengan kedewaan (deata), sementara barat dikenal sebagai nenek moyang dalam bentuk yang didewakan (Tjahjono, 2002 : 22).
Ruang terbuka di permukiman Tana Toraja berupa lahan terbuka yang juga terdiri dari jalan yang menghubungkan antar rumah yang terbuat dari batu alam. Arah rumah menentukan karakteristik dari ruang terbuka yang ada. Ruang terbuka tersebut juga dipengaruhi oleh arah mata angin yang menentukan permukiman tersebut. Ruang terbuka tersebut mengarah barat-timur dimana berlawanan dari arah bangunan rumah tempat tinggal penduduk.


3.2. Ruang Terbuka di Perkotaan
3.2.1. Ruang Terbuka di Bandung, Jawa Barat
• Taman Lalu Lintas di Bandung
Taman lalu lintas, yang dahulu dikenal sebagai “Insulinde Park”, terletak di antara jalan Aceh, jalan Kalimantan, dan Jalan Sumatera. Taman ini dapat dikatakan sebagai taman kota yang bersifat rekreatif-edukatif untuk seluruh keluarga.
Koleksi pepohoan yang ampaknya sudah cukup umur, antara lain pohon kenari, ki hujan, ki angsret, angsana dan palem raja –yang menyebar manaungi seluruh taman dan jalan-jalan disekitarnya- menjadikan lingkungan Taman Lalu Lintas ini terasa sejuk. Berbagai sarana rekreasi yang ditujukan untuk anak yang ada disana menyebabkan manfaat rang terbuka ini terasa. Bentuk tamannya sediri sebenarnya sederhana saja, namun kehadirannya ditengah kota mampu meredam panasnya terik matahari maupun hiruk-pikuk dan semwrawutnya kegiatan didalam kota (Dana, 1990 : 113).
• Taman Merdeka (Pieter’s Park)
Taman Merdeka merupakan taman yang pertama dibangun di Kota Bandung pada tahun 1885, untuk mengenang Pieter Sijthof, asisten residen bandung, yang juga diangga berjasa dalam pembangunan Kota Bandung pada masa itu. Taman yang terletak didepan Gedung Balai Kotamadya Bandung ini seolah-olah melengkapi dan menunjang keberadaan serta penampilan kompleks Balai Kota tersebut. Taman Merdeka juga dilengkapi denga sebuah gazebo, patung adak putih, alur jalan kaki, bangku-bangku taman, lampu-lampu hias serta sekumpulan pepohonan yang rindang seperti ki hujan, ki angsret, johar, damar, bubundelan, tanjung, bungsur dan cemara laut. Kehadiran taman ini beserta pohon-pohon tersebut di daeah pusat pemerintahan Kotamadya bandung, dirasakan dapat memperhalus suasana visual lingkungan sekitarnya (Dana, 1990 : 113-115).


3.2.2. Ruang Terbuka di Kali Code, Yogyakarta
Perumahan yang ada di pinggiran Kali Code tumbuh secara spontan di sepanjang aliran suangai ini. Hubungan / kontak sosial antar penduduk setempat terlihat jelas, terutama pada saat pemakaiana fasilitas umum lingkungan dan di pelbagai ruang yang ada di luar bangunan. Ruang-
Ruang luar kecil diantara beberapa rumah juga juga berfungsi sebagai tempat berkumpul berkumpul bersama di sore hari. Tempat-tempat seperti jalan lingkungan (gang) merupakan tempat yang umum dipakai berkumpul para lelaki desa dan pemuda desa dei sore dan malam hari, terutama di perempatan dan dibawah lampu jalan. Sedangkan para wanitanya lebih banyak berkumpul di ruang –ruang sekitar sumur dan tempat mandi umum pada pagi harinya (Depdikbud, 1995:134).


3.2.3. Ruang Terbuka di Jakarta
• Taman Ria, Jakarta
Kehidupan di Jakarta yang makin sibuk terjadi proses ketegangan yang makin lama semakin tersa sebagai beban mental. Hal tersebut akan dapat berkurang bila terdapat ruang terbuka yang dapat dipakai sebagai kegiatan aktif dan pasif misalnya sebagai tempat hiburan dan rekreasi. Hal ini akan menunjang kerah kehidupan yang sejahtera dan sehat terutama bagi anak-anak. Disamping sebagai sarana rekreasi Taman Ria ini juga berfungsi untuk perbaikan iklim makro. Di mana pepohonan yang ada di sekitarnya mampu menetralisir udara panas yang dihasilkan oleh hiruk-pikuknya kota Jakarta.
Taman Ria Terletak di Kota Jakarta, tepatnya berlokasi di Monumen Nsional sudut barat daya. Taman dengan luas tanah 1,4 hektare ini secara keseluruhan letaknya sangat strategis, karena terletak di tengah kota. Taman ini memiliki beberapa fasilitas diantaranya, beberapa jenis permainan yang dipasang tidak permanen seperti twister, mini train, bom-bom car,dan lain-lain , serta panggung hiburan yang digunakan untuk berbagai jenis pertunjukan (Majalah Asri, 1985: 27-29).

DAFTAR PUSTAKA

Bappeda Tingkat I Bali, 1984. Studi Landsekap dan Ruang Terbuka Kota Denpasar. Bappeda Tingkat I Bali : Bappeda Tingkat I Bali.
Dana, Djefry W., 1990. Ciri Perancangan Kota Bandung. PT. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara I. Depdikbud : Jakarta
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992. Arsitektur Tradisional Daerah Aceh. Depdikbud : Jakarta
Djunaedi, Ahmad, 1989. Pengantar Metodologi Penelitian Arsitektural. Jurusan Teknik Arsitektur UGM : Yogyakarta.
Gunadi, Sugeng, 1983. Merancang Ruang Luar (Terjemahan Exterior Design in Architecture). Dian Surya : Surabaya.
Hakim, Rustam dan Utomo, Hardi, 2003. Komponen Perancangan Arsitektur Lansekap Prinsip – Unsur dan Aplikasi Disain. Bumi Aksara : Jakarta.
Jayadinata, Johara T., 1999. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan dan Wilayah. ITB : Bandung.
Majalah Asri, Oktober 1985. Taman Ria Jakarta.
Majalah Indonesia Design, September 2004. Lamin Suku Dayak.
, September 2004. Makasar, Tana Toraja.
Sedyawati, Edi, dkk., 1995. Konsep Tata Ruang Suku Bangsa Dayak Kenyah di Kalimantan Timur. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan : Jakarta.
Sinulingga, Budi D., 1999. Pembangunan Kota Tinjauan Regional dan Lokal. Pustaka Sinar Harapan : Jakarta.
Suarya, Made, 2003. Materi Perkuliahan Pengantar Permukiman. Universitas Udayana, Fakultas Teknik, PS. Arsitektur : Denpasar.
Suhamihardja, A. Suhandi dan Sariyun, Yugo, 1991. Kesenian arsitektur dan Upacara Adat Kampung Naga, Jawa Barat. Proyek Pembinaan Media Kebudayaan, Ditjen Kebudayaan, Depdikbud : Jakarta
Sumintardja, Djauhari, 1978. Kompendium Sejarah Arsitektur. Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan : Bandung.
Tabloid Rumah ( Edisi 14), Oktober 2003. Rumah Berpori-pori Masyarakat Naga.
( Edisi 18), Desember 2003. Ruang Publik di Jakarta.
Tjahjono, Gunawan, 2002. Indonesian Heritage (Edisi 6 : Arsitektur). Buku Antar Bangsa untuk Grolier Internasional, Inc. : Jakarta.
Wiryomartono, A. Bagoes P., 1995. Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia (Kajian Mengenai Konsep, Struktur, dan Elemen Fisik Kota Sejak Peradaban Hindu-Budha, Islam hingga Sekarang). Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.
Zahnd, Markus, 1999. Perancangan Kota Secara Terpadu Teori Perancangan Kota dan Penerapannya. Kanisius : Yogyakarta.

TINJAUAN TEORI RUANG TERBUKA (OPEN SPACE)

TINJAUAN TEORI RUANG TERBUKA (OPEN SPACE)


2.1. Ruang Terbuka

2.1.1. Pengertian Ruang Terbuka

Ruang terbuka (Open Space) merupakan ruang terbuka yang selalu terletak di luar massa bangunan yang dapat dimanfaatkan dan dipergunakan oleh setiap orang serta memberikan kesempatan untuk melakukan bermacam-macam kegiatan. Yang dimaksud dengan ruang terbuka antara lain jalan, pedestrian, taman lingkungan, plaza, lapangan olahraga, taman kota dan taman rekreasi (Hakim, 2003 : 50).

Menurut Lao Tze adalah bukan hanya sesuatu yang dibatasi secara fisik oleh lantai, dinding dan langit-langit, tetapi “kekosongan” yang terkandung di dalam bentuk pembatas ruang tadi (ITS, 1976 : 9).

Ruang terbuka ini terbentuk karena adanya kebutuhan akan perlunya tempat untuk bertemu atau berkomonikasi satu sama lain. Dalam satu kawasan permukiman baik yang tradisional maupun permukiman kota sering kita jumpai sebuah alahan kosong yang dijadikan sebagai ruang bersama bagi penghuni yang ada disekitarnya dengan jarak radius tertentu (Bappeda Tk. I Bali , 1992 : 28).

Berdasarkan bentuk, macam dan fungsi, ruang terbuka dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu (Jayadinata, 1999 : 33) :

· Kebudayaan misalnya : lapang olah raga, kolam renang terbuka, taman, kampus universitas, dan sebagainya.

· Kehidupan ekonomi (mata pencaharian), misalnya : sawah, kebun, kolam, hutan, pasar, pelabuhan, dan sebgainya.

· Kehidupan sosial, misalnya : kawasan rumah sakit, kawasan perumnas, tanah lapang untuk latihan militer, danau untuk rekreasi berperahu, dan sebagainya.

2.1.2. Macam-macam Bentuk Ruang Terbuka

Ruang terbuka sebagai wadah kegiatan bersama, dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu (Hakim, 2003 : 50) :

1. Ruang Terbuka Umum, dapat diuraikan menjadi berikut :

· Bentuk dasar dari ruang terbuka selalu terletak diluar massa bangunan

· Dapat dimanfaatkan dan dipergunakan oleh setiap orang (warga)

· Memberi kesempatan untuk bermacam-macam kegiatan (multi fungsi).

Contoh ruang terbuka umum adalah jalan, pedestrian, taman lingkungan, plaza lapangan olahraga, taman kota dan taman rekreasi.

2. Ruang Terbuka Khusus, pengertiannya adalah sebagai berikt:

· Bentuk dasar ruang terbuka selalu terletak di luar massa bangunan.

· Dimanfaatkan untuk kegiatan terbatas dan dipergunakan untuk keperluan khusus/ spesifik.

Contoh ruang terbuka khusus adalah taman rumah tinggal, taman lapangan upacara, daerah lapangan terbang, dan daerah untuk latihan kemiliteran.

Ruang terbuka ditinjau dari kegiatanya, menurut kegiatannya ruang terbuka terbagi atas dua jenis ruang terbuka, yaitu ruang terbuka pasif dan ruang terbuka pasif (Hakim, 2003 : 51) :

· Ruang terbuka aktif, adalah rang terbuka yang mempunyai unsur-unsur kegiatan didalamnya misalkan, bermain, olahraga, jala-jalan. Ruang terbuka ini dapat berupa plaza, lapangan olahraga, tempat bermain anak dan remaja, penghijauan tepi sungai sebagai tempat rekreasi.

· Ruang terbuka pasif, adalah ruang terbuka yang didalamnya tidak mengandung unsur-unsur kegiatan manusia misalkan, penghijauan tepian jalur jalan, penghijauan tepian rel kereta api, penghijauan tepian bantaran sungai, ataupun penghijauan daerah yang bersifat alamiah. Ruang terbuka ini lebih berfungsi sebagai keindahan visual dan fungsi ekologis belaka.

Ruang terbuka ditinjau dari segi bentuk, menurut Rob Rimer (Urban Space) bentuk ruang terbuka secara garis besar dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu ruang terbuka berbentuk memanjang (koridor) dan ruang terbuka berbentuk membulat (Hakim, 2003 : 51-52) :

· Ruang terbuka bentuk memanjang (koridor) pada umumnya hanya mempunyai batas-batas pada sisi-sisinya, misalkan bentuk ruang terbuka jalan, bentuk ruang terbuka sungai.

· Ruang terbuka bentuk membulat pada umumnya mempunyai batas disekelilingnya, misalkan bentuk ruang terbuka lapangan upacara, bentuk ruang terbuka rekreasi, dan bentuk ruang terbuka area lapangan olahraga.

Ruang terbuka ditinjau dari sifatnya, berdasarkan sifatnya ada 2 (dua) jenis ruang terbuka, yakni ruang terbuka lingkungan dan ruang terbuka antar bangunan (Hakim, 2003 : 51) :

· Ruang terbuka lingkungan adalah ruang terbuka yang terdapat pada suatu lingkungan dan sifatnya umum.

· Ruang terbuka antar bangunan adalah ruang terbuka yang terbentuk oleh massa bangunan. Ruang terbuka ini dapat bersifat umum atau pribadi sesuai dengan fungsi bangunannya.

2.1.3. Fungsi Ruang Terbuka

Pada dasarnya fungsi ruang terbuka dapat dibedakan menjadi dua fungsi utama yaitu (Hakim, 2003 : 52) :

· Fungsi Sosial

Fungsi sosial dari ruang terbuka anatar lain:

a. tempat bermain dan berolahraga;

b. tempat bermain dan sarana olahraga;

c. tempat komunikasi sosial

d. tempat peralihan dan menunggu;

e. tempat untuk mendapatkan udara segar

f. sarana penghubung satu tempat dengan tempat lainnya;

g. pembatas diantara massa bangunan;

h. sarana penelitian dan pendidikan serta penyuluhan bagi masyarakat untuk membentuk kesadaran lingkungan;

i. sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian, dan keindahan lingkungan.

· Fungsi Ekologis

Fungsi ekologis dari ruang terbuka antara lain (ITS, 1976 : 8) :

a. penyegaran udara, mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro;

b. menyerap air hujan;

c. pengendali banjir dan pengatur tata air;

d. memelihara ekosistem tertentu dan perlindungan plasma nuftah;

e. pelembut arsitektur bangunan.

Fungsi alam dapat dibedakan menjadi 2, yaitu (ITS, 1976 : 8) :

1. Fungsi Psikologis

Bersifat kesenangan yang bersivat visual misalnya dengan digunakannya tumbuhan yang merambat dapat memperlunak garis-garis arsitekturnya.

2. Fungsi Fisik

Dapat mengurangi silau, mengurangi kegaduhan (alam buatan yang bersifat masif)

2.2. Permukiman Tradisional

Permukiman tradisional ialah suatu permukiman yang merupakan perkembangan masyarakat yang hidup secara nomaden, dimana permukiman ini sudah hidup menetap pada suatu wilayah tertentu. Adapun ciri-ciri dari permukiman tradisional antara lain (Suarya, Materi Kuliah Pengantar Permukiman) :

· Masyarakat memilih tempat-tempat yang memungkinkan untuk hidup menetap seperti daerah yang subur, terdapat mata air, aman dari kemungkinan bencana alam, serangan binatang maupun musuh.

· Susunan permukiman sudah menunjukkan adanya pola diamana sering kali susunan unit-unit hunian membentuk suatu ruang bersama.

· Permukiman sudah dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan walaupun masih sangat sederhana.

· Mempunyai ukuran yang cukup besar dengan penduduk sekitar 1000 sampai dengan 2000 jiwa.

Perkampungan atau permukiman tradisional terbagi menjadi 2 macam yaitu (Jayadinata,1999 : 61-66) :

· Permukiman memusat, yaitu permukiman yang rumah penduduknya mengelompok dan merupakan dusun yang terdiri atas kurang dari 40 rumah dan kampung yang terdiri atas 40 rumah atau lebih bahkan ratusan rumah. Disekitarnya terdapat lahan untuk pertanian, perikanan, peternakan, pertambangan, kehutanan, tempat penduduk bekerja penduduk untuk mencari nafkah. Permukiman seperti ini banyak terdapat di Asia dan Indonesia

· Permukiman terpencar, yaitu permukiman yang rumah penduduknya terpencar menyendiri dan biasanya terdapat di negara-negara Eropa Barat, Amerika Serikat, Kanada, Australia dll.


2.3. Tata Ruang Terbuka pada Permukiman Tradisional Indonesia

Perkampungan tradisional di Indonesia pada umumnya berorientasi pada kepercayaan (religion) dan pada keamanan. Pada perkembangan selanjutnya, perkampungan tradisional berorientasi kepada kehidupan sosial ekonomi (Jayadinata, 1999 : 101).

Perencanaan pedesaan (rural planning), disebut juga perencanaan pedesaaan dan wilayah yang dengan sendirinya harus meliputi tujuan dan asas-asas pembangunan desa tersebut. Dengan demikian perencanaan pedesaan itu harus mempunyai dasar usaha untuk memajukan penduduk dalam kehidupan sosial ekonomi. Untuk itu diperlukan adanya prasarana ekonomi untuk kesejahteraan penduduk pedesaan seperti penyediaan air minum dan sanitasi, listrik pedesaan, pengangkutan dan perhubungan / komunikasi jalan, telekomunikasi, kesehatan dan gizi, pendidikan, fasilitas ekonomi, industri pedesaan dan hutan (Jayadinata, 1999 : 100).

Pola ruang terbuka dalam lingkungan permukiman sangat tergantung pada pola atau sistem bangunan rumah namun secara fungsional ruang terbuka dapat dimanfaatkan sebagai sarana rekreasi dan sarana olah raga (Bappeda Tk. I Bali , 1992 : 28).

Pada perkampungan tradisional (sedekala) di Indonesia lebih berorientasi pada religi, kebutuhan sosial ekonomi dalam hal memenuhi kebutuhan hidup dalam melakukan mata pencaharian sehari-hari seperti sungai, pantai (laut), danau, ladang dan lain-lain serta kebutuhan sosial yaitu berinteraksi antar anggota masyarakat dan dapat hidup bergotong royong (Jayadinata, 1999 : 106).